KASUS : PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN)
Terjadinya sengketa
dari hari ke hari semakin bertambah banyak, baik yang sifatnya sederhana maupun
yang sifatnya kompleks. Sengketa yang sekarang banyak terjadi antar desa
pakraman di Bali adalah sengketa mengenai perebutan tanah setra. Pentingnya
peran tanah setra bagi umat hindu di Bali dan juga tingginya nilai ekonomi tanah
sekarang ini merupakan salah satu pemicu terjadinya sengketa.
Sebagaimana yang kita ketahui, cara penyelesaian sengketa ada 2 (dua), yaitu secara litigasi dan non-litigasi (diluar pengadilan). Masyarakat Bali dewasa ini dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi biasanya dengan cara non-litigasi. Apalagi jika sengketa itu melibatkan antar desa pakraman. Misalnya sengketa yang terjadi antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan Kabupaten Tabanan dimana sengketa ini dipicu oleh berbagai faktor sehingga menjadi kompleks. Adakalanya proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi ini tidak dapat langsung menuntaskan masalah. Dengan demikian maka penulis ingin membahas mengenai upaya penyelesaian sengketa antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan dan juga mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam penyelesaian sengketa itu.
Contoh Kasus Sengketa :
Sengketa antara Desa
Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan bermula dari adanya keluhan oleh
beberapa warga Desa Pakraman Cekik karena merasa dirugikan dari akibat yang
ditimbulkan dalam proses upacara pemakaman oleh Desa Pakraman Gablogan. Keluhan
ini segera dirundingkan oleh kedua desa pakraman tersebut dan segera dicarikan
jalan keluarnya. Akhirnya Desa Pakraman Gablogan mau menanggung setiap kerugian
yang diderita warga Desa Pakraman Cekik dari akibat ditimbulkan dalam proses
upacara pemakamannya. Namun, selang beberapa tahun Desa Pakraman Gablogan tidak
lagi memberikan ganti rugi kepada warga Desa Pakraman Cekik. Dari situlah mulai
gesekan-gesekan yang dulunya kecil sekarang menjadi masalah hingga menimbulkan
sengketa yang sifatnya kompleks.
Upaya penyelesaian
sengketa antara desa pakraman cekik dengan desa pakraman gablogan Dalam upaya
penyelesaian sengketa yang terjadi, ada 3 (tiga) upaya yang dilakukan kedua
desa pakraman tersebut. Bentuk semua dari upaya penyelesaian itu adalah dengan
cara mediasi. Dalam upaya menyelesaikan sengketa, masing-masing desa pakraman
membentuk perwakilan yang dipilih menurut intelektualitas yang dimiliki
seseorang dan juga dianggap cakap dalam menyelesaikan sengketa
Upaya penyelesaian
sengketa yang pertama dilakukan oleh masing-masing perwakilan desa yang
dimediasi oleh Bapak I Nyoman Gunarta yang menjabat sebagai Kepala Desa, Desa
Berembeng. Upaya penyelesaian sengketa pertama ini memang menghasilkan suatu
kesepakatan bersama yang pada intinya Desa Pakraman Gablogan setuju untuk
pindah setra dan membuat setra baru di wilayah desa pakramannya. Berselang
beberapa bulan, belum juga ada tindakan membuat setra dari Desa Pakraman
Gablogan, maka Desa Pakraman Cekik memutuskan melarangnya melakukan penguburan
di setra yang menjadi obyek sengketa. Sampai akhirnya ada kematian di Desa
Pakraman Gablogan, dalam proses penguburan itu kedua desa pakraman hampir
bentrok. Dengan adanya kejadian itu, maka dilakukan lagi upaya yang kedua.
Upaya penyelesaian
sengketa yang kedua juga sama seperti yang pertama. Yang menjadi mediator dalam
upaya penyelesaian sengketa yang kedua ini adalah Bapak Drs. I Nengah Judiana,
Msi selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Tabanan. Dalam penyelesaian kedua ini
hampir sama kejadiannya dengan yang pertama tadi, dimana kesepakatan tidak
dilaksanakan sampai ada kematian lagi di Desa Pakraman Gablogan. Upaya
penyelesaian sengketa yang ketiga ini dimediasi langsung oleh Bupati Kabupaten
Tabanan yaitu Bapak Nyoman Adi Wiryatama, S.Sos. bersama dengan Forum
Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Tabanan. Dengan kewenangan yang dimiliki
Bupati, maka diterbitkan suatu keputusan yang menyatakan Desa Pakraman Gablogan
harus pindah setra dan mempunyai setra sendiri. Setra yang menjadi sengketa berubah
status menjadi tanah quo.
Dengan isi keputusan
seperti itu, maka Desa Pakraman Gablogan menyetujuinya, dan isi keputusan
tersebut dapat diwujudkan oleh Desa Pakraman Gablogan setelah empat bulan
semenjak keputusan itu dibuat. Pada akhirnya setelah setra Desa Pakraman
Gablogan terwujudkan, maka sengketa yang terjadi antara Desa Pakraman Cekik
dengan Desa Pakraman Gablogan berakhir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa antara desa pakraman cekik dengan desa pakraman gablogan Secara garis besarnya ada tiga faktor yang berpengaruh dalam penyelesaian sengketa ini, yaitu: legal substancy, selanjutnya legal structure, dan yang terakhir adalah legal culture.
Legal substancy adalah aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu.Aturan yang dipakai acuan dalam proses penyelesaian sengketa ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18 B angka (1) dan (2), dilanjutkan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam BAB XI tentang Desa, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dalam Pasal 15 angka (1) huruf (k), dan yang terakhir PERDA Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Legal structure adalah
berkaitan dengan seluruh institusi penegakan hukum beserta aparatnya. Sengketa
adat yang terjadi awalnya diselesaikan oleh prajuru desa, namun apabila prajuru
desa tidak sanggup mendamaikan, maka ia bisa dibantu oleh aparat pemerintah
mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Peranan aparat
pemerintah dalam hal ini sangat penting, karena dengan kewenangan yang tinggi,
aparat pemerintah dapat menekan dan memaksa para pihak yang bersengketa untuk
tunduk dan mematuhi segala keputusannya. Dalam hal ini, kedudukan Bupati
Kabupaten Tabanan sangat penting, karena ia selaku pemimpin di kabupaten juga
pemegang kewenangan tertinggi di kabupaten, maka ia dapat menekan pihak yang
bersengketa untuk tunduk sesuai keputusan yang diterbitkan Bupati.
Legal culture adalah
adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala
hukum. Seperti halnya kenapa warga Desa Pakraman Gablogan tidak menerapkan
kesepakatan pertama dan kedua, dan mengapa keputusan yang terakhir dapat
dilaksanakan. Ada dua alasan, pertama warga Desa Pakraman Gablogan dapat
menerima keputusan yang dibuat oleh Bupati Kabupaten Tabanan dikarenakan
masyarakat menganggap itu adalah jalan terakhir, sehingga apa yang diputuskan
oleh Bupati, mau atau tidak mau, keputusan itu harus ditaati, mengingat Bupati
adalah pemimpin tertinggi di wilayah kabupaten. Alasan kedua, mengingat bantuan
yang diberikan oleh Bupati Kabupaten Tabanan lebih dari cukup untuk membuat
tanah setra baru, maka warga Desa Pakraman Gablogan dapat menjalankan keputusan
tersebut.
KESIMPULAN :
1. Ada
3 upaya mediasi yang dilakukan antar dua desa pakraman, mediasi pertama oleh
Kepala Desa Kebendesaan Berembeng, mediasi kedua oleh Sekda Kabupaten Tabanan
dan mediasi ketiga oleh Bupati Kabupaten Tabanan dan sengketa dapat
diselesaikan.
2. Faktor
yang paling berperan dalam menyelesaikan sengketa ini adalah faktor legal structure-nya,
karena dengan kewenangan dan kekuasaan yang tinggi, aparat pemerintahan dapat
menekan dan memaksakan para pihak untuk berdamai.
SUMBER :
I. Hadikusuma, Hilman, 1986,
Antropologi Hukum Indonesia, cet. I, Alumni, Bandung.
II.
Rai Asmara Putra, Dewa Nyoman, 2007,
“Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan” dalam Ketut Sudantra dan Oka Parwata
(ed); Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pekraman Dalam Penyelesaian
Perkara Di Luar Pengadilan, Upada Sastra, Denpasar.
III.
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Cet
I, PT Refika Aditama, Bandung.
IV.
file:///C:/Users/asus/Downloads/5293-1-8384-1-10-20130429.pdf
Komentar
Posting Komentar